Assalamu’alaikum wr. wb
Redaksi Bahtsul Masail NU Online yang terhormat, saya mau menanyakan tentang tanda hitam di jidat. Ada yang bilang kepada saya bahwa tanda di jidat itu menunjukkan kesalehannya. Akibatnya banyak kita jumpai orang-orang dengan sengaja menciptakan tanda hitam di jidatnya dengan cara ketika bersujud menekan jidatnya kuat-kuat sehingga menimbulkan luka yang pada akhirnya muncul tanda hitam di jidatnya. Apakah tindakan seperti dapat dibenarkan? Saya Mohon penjelasan dari Redaksi Bahtsul Masail NU Online, dan atas penjelasannya saya ucapkan terima kasih.
Wassalamu’alaikum wr. wb (Muhammad Yasin/Banjarmasin).
Jawaban
Assalamu’alaikum wr. wb
Penanya yang budiman, semoga selalu dirahmati Allah swt. Biasanya orang yang memiliki tanda hitam di jidat itu sering diasumsikan sebagai orang yang rajin shalat sehingga dianggap sebagai perlambang kesalehan seorang muslim.
Namun sepanjang yang kami ketahui, ukuran kesalehan seorang muslim tidaklah ditunjukkan dengan adanya tanda hitam di jidat. Kesalehan selalu mengandaikan prilaku, akhlak, dan moralitas yang luhur. Kendati demikian kami tidak menafikan bahwa ada sebagian orang saleh memiliki tanda hitam di jidatnya tetapi bukan tanda yang dibuat dengan sengaja tetapi lebih karena seringnya bersujud.
Tanda hitam di jidat dalam keterangan yang kami ketahui diserupakan dengan tsafinatul ba’ir sebagaimana yang terdapat dalam hadits Abi Darda` RA yang terdapat dalam kitab an-Nihayah fi Gharibil Hadits wal Atsar karya Ibnul Atsir.
أَنَّهُ رَأَى رَجُلاً بَيْنَ عَيْنَيْهِ مِثْلَ ثَفِنَةِ الْبَعِيرِ فَقَالَ : لَوْ لَمْ يَكُنْ هَذَا كَانَ خَيْراً يَعْنِي كَانَ عَلَى جَبْهَتِهِ أَثَرُ السُّجُودِ وَإِنَّمَا كَرِهَهَا خَوْفاً مِنَ الرِّيَاءِ عَلَيْهِ.
Bahwa beliau melihat seorang laki-laki yang di antara kedua matanya terdapat tanda seperti tsafinatul ba’ir. Lantas beliau berkata, “Seandainya tidak ada ini maka ia lebih baik.” Maksudnya adalah di keningnya ada bekas sujud. Beliau tidak menyukainya karena khawatir hal tersebut menimbulkan riya. (Lihat Ibnul Atsir, an-Nihayah fi Gharibil Hadits wal Atsar, Beirut al-Maktabah al-‘Ashriyyah, cet ke-1, 1426 H/2005 M, juz, I, h. 200).
Lantas apa makna tsafinatul ba’ir? Sebelum menjelaskan maknanya terlebih dahulu kami akan menyuguhkan penjelasan Ibnul Atsir tentang makna dari kata tsafinah. Menurutnya makna kata tsafinah adalah bagian tubuh yang menempel tanah dari setiap hewan berkaki empat ketika menderum seperti lutut dan selainnya dan terdapat ketebalan sebagai bekas menderum.
اَلثَّفِنَةُ بِكَسْرِ الْفَاءِ مَا وَلِيَ الأَرْضَ مِنْ كُلِّ ذَاتِ اَرْبَعٍ إِذَا بَرَكَتْ كَالرُّكْبَتَيْنِ وَغَيْرِهِمَا وَيَحْصُلُ فِيهِ غِلَطٌ مِنْ أَثَرِ الْبُرُوكِ
“At-Tsafinah dengan di-kasrah huruf fa’-nya adalah bagian tubuh yang menempel tanah dari hewan berkaki empat ketika menderum seperti kedua lutut dan selainnya dan terdapat padanya ketebalan dari bekas menderum”. (Lihat, Ibnul Atsir, an-Nihayah fi Gharibil Hadits wal Atsar, Beirut al-Maktabah al-‘Ashriyyah, cet ke-1, 1426 H/2005 M, juz, I, h. 200).
Dengan mengacu pada penjelasan Ibnul Atsir, dapat disimpulkan bahwa makna katatsafinatul ba’ir adalah bagian tubuh unta yang menempel tanah ketika menderum dan menjadi tebal sebagai akibat menderumnya.
Di samping itu mengenai tanda hitam di jidat sebagai bekas sujud yan terdapat dalam hadits riwayat Abi Darda` RA di atas ternyata tidak disukai karena dikhawatirkan akan menimbulkan riya pada pemiliknya. Dengan kata lain, jika dalam hatinya ada riya maka tidak diperbolehkan atau haram, karenanya harus dihilangkan.Senada dengan hadits riwayat Abi Darda` ra adalah hadits riwayat Anas bin Malik RA yang menyatakan bahwa Rasulullah saw tidak menyukai seseorang yang memiliki tanda di antara kedua matanya sebagai bekas sujud.
عَنْ أَنَسٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ : إِنِّي لَأَبْغَضُ الرَّجُلَ وَأْكْرَهُهُ إِذَا رَأَيْتُ بَيْنَ عَيْنِيهِ أَثَرُ السُّجُودِ
Dari Anas bin Malik ra dari Nabi saw bersabda, “Sungguh aku marah dan tidak menyukai seorang laki-laki yang ketika aku melihatnya terdapat bekas sujud di antara kedua matanya.” (Lihat, Muhammad al-Khathib asy-Syarbini, Tafsir as-Sirajul Munir, Beirut-Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, juz, IV, h. 31).
Sedangkan mengenai orang yang secara sengaja membuat tanda hitam di jidat, misalnya ketika ia melakukan sholat bersujud dengan menekan jidat dan menggesekkannya di tempat sujud sehingga menimbulkan tanda hitam di jidat maka jelas tidak dibenarkan. Bahkan al-Biqa`i mengakui adanya sebagian orang-orang yang riya yang dengan sengaja membuat tanda hitam di jidat dari bekas sujud mereka. Padahal itu adalah salah satu identitas orang Khawarij.
وَلَا يُظَنُّ أَنَّ مِنَ السِّيمَا مَا يَصْنَعُهُ بَعْضُ الْمُرَائِينَ مِنْ أَثَرِ هَيْئَةِ السُّجُودِ فِي جَبْهَتِهِ فَإِذًا ذَلِكَ مِنْ سِيمَا الْخَوَارِجِ
“Tak disangka bahwa termasuk tanda bekas sujud adalah tanda bekas sujud di jidat yang sengaja dibuat oleh sebagian orang-orang yang riya. Jika demikian maka itu adalah termasuk identitas atau tanda orang Khawarij”. (Lihat, Burhanuddin Ibrahim bin Umar al-Biqa`i, Nazhmud Durar fi Tanasubil Ayat wal Atsar, Beirut-Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1415 H/1995 M, juz, IIV, h. 216).
Apa yang dikemukakan al-Biqa’i hemat kami sangat menarik. Sebab, pernyataan dia setidaknya menjelaskan kepada kita bahwa salah satu perbuatan yang digandrungi kaum Khawarij adalah membuat tanda hitam di jidat dari bekas sujudnya untuk menunjukkan bahwa mereka adalah ahli ibadah. Perbuatan kaum Khawarij seperti ini tentunya harus kita hindari.
Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq,
Wassalamu’alaikum wr. wb
Sumber : NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar