MENGENAL LEBIH DALAM SURAT AL IKLAS
بسم الله الرحمن الرحيم
بسم الله الرحمن الرحيم
قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ، اللَّهُ
الصَّمَدُ، لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ، وَلَمْ يَكُن لَّهُ كُفُوًا أَحَدٌ
Katakanlah, “Dialah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah
Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tidak
melahirkan dan tidak pula dilahirkan; tidak pula ada seorang pun yang setara
dengan-Nya.” (QS al-Ikhlas [112]: 1-4).
Ø Sabab Turunnya surat Al Iklas
Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu ‘Aliyah, dari Ubay bin Kaab ra., bahwa
kaum musyrik pernah berkata kepada Nabi saw, “Wahai Muhammad, sebutkanlah
nasab Tuhanmu kepada kami!” Lalu Allah SWT menurunkan surat ini.
Riwayat senada juga disampaikan oleh at-Tirmidzi dan Ibnu Jarir. Abu Ya’la
meriwayatkannya dari Jabir ra.1
Ø Keutamaan Surat al-Ikhlas
Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Aisyah bahwa ada seorang laki-laki yang
dikirim dalam sebuah sariyah (ekspedisi perang). Dia membaca
al-Quran dalam shalat dengan teman-temannya, lalu dia menutupnya dengan surat
ini. Setelah kembali, mereka menyampaikannya kepada Rasulullah saw. Beliau
bersabda, “Tanyakanlah kepadanya, mengapa dia mengerjakan itu.” Mereka
pun bertanya kepada orang itu, lalu dia menjawab, “Karena itu sifat Ar-Rahmân dan
aku senang membacanya.” Kemudian beliau bersabda, “Kabarkanlah
kepadanya bahwa Allah SWT mencintainya.”
Dari Imam Ahmad dan at-Tirmidzi, dari Anas ra., pernah ada seorang
laki-laki yang datang kepada Rasulullah saw. dan berkata, “Sesungguhnya saya
mencintai surat ini (Qul huwal-Lâh Ahad dst).” Rasulullah saw.
bersabda, “Kecintaanmu terhadapnya memasukkanmu ke dalam surga (lafal
hadis dari Imam Ahmad).”
Imam al-Bukhari dan Abu Dawud meriwayatkan dari Abu Said al-Khudri, dia
berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Demi Zat yang jiwaku ada di
tangan-Nya, sesungguhnya (surat al-Ikhlas) itu setara dengan sepertiga al-Quran.”
Ø Tafsir Ayat
Allah SWT berfirman: Qul huwal-Lâh Ahad (Katakanlah,
“Dialah Allah, Yang Maha Esa.”). Perintah Qul dalam ayat ini
ditujukan kepada Rasulullah saw. Apabila dikaitkan dengan sabab nuzûl-nya,
perkataan itu merupakan jawaban atas pertanyaan kaum musyrik mengenai sifat
Tuhan yang beliau dakwahkan. Perintah itu juga berlaku bagi seluruh umatnya,
sebab khithâb al-Rasûl khithâb li ummatihi(seruan kepada Rasul,
juga seruan kepada umatnya).
Dalam ayat ini, beliau dan umatnya diperintahkan untuk mengatakan: Huwal-Lâh
Ahad; bahwa Tuhan yang mereka tanyakan itu adalah Allah dan
Allah itu hanya satu. Sebab, kata ahad bermakna wâhid (satu).2 Bahkan
ditegaskan al-Baghawi, tidak ada perbedaan makna antara ahad dengan wâhid.3
Kendati sama-sama menunjuk pada jumlah satu, menurut sebagian mufassir ada
perbedaan di antara keduanya. Dinyatakan oleh al-Azhari bahwa sifat ahadiyyahhanya
digunakan untuk Allah. Sebagai buktinya, tidak dikatakan rajul ahad wa
dirhâm ahad, tetapi dikatakan rajul wâhid wa dirhâm wâhid.4 Pendapat
senada juga dikemukakan Tsa’lab.5
Mengenai pengertian ayat ini secara keseluruhan, Ibnu Katsir memaparkan, “Dialah
al-Wâhid al-Ahad; tidak ada yang setara dan pembantu; tidak ada
sekutu, yang serupa dan sepadan dengan-Nya. Ungkapan ini tidak diucapkan kepada
siapa pun kecuali Allah Azza wa Jalla. Sebab, Dia Mahasempurna dalam semua
sifat dan perbuatan-Nya.”6
Dalam ayat berikutnya kemudian ditegaskan: Allâh ash-Shamad (Allah
adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu). Dijelaskan
az-Zamkhsyari dan asy-Syaukani, kata ash-shamad merupakan fi’l yang
bermakna maf’ûl.7 Menurut
asy-Syaukani, kata tersebut seperti halnya kata al-qabdh yang
bermakna al-maqbûdh (yang digenggam). Kata ash-shamad pun
demikian, bermakna al-mashmûd ilayhi, yakni al-maqshûd
ilayhi (yang dituju). Jadi, makna ash-shamadadalah al-ladzî
yushmadu ilayhi fî al-hâjat (pihak yang dituju atau dijadikan sebagai
sandaran dalam berbagai kebutuhan). Hal itu disebabkan karena keberadaan-Nya
yang mampu memenuhi berbagai kebutuhan.8 Penjelasan
yang sama dikemukakan al-Qurthubi, al-Sa’di, dan al-Zuhaili.9
Ibnu ‘Abbas, sebagaimana dikutip al-Qurthubi, juga berpendapat demikian.
Menurutnya, pengertian ini sejalan dengan QS an-Nahl [16]: 53. 10
Selain makna itu, ada beberapa makna ash-shamad yang
disampaikan oleh para mufassir. Menurut Ibnu ‘Abbas dalam riwayat
lain, Said bin Jubair, Mujahid, al-Dhahhak, ‘Ikrimah, dan al-Hasan, kata ash-shamad berarti
Zat yang tidak lapar. asy-Sya’bi juga memaknainya sebagai Zat yang tidak makan
dan tidak minum.11
Abu Aliyah memaknai ash-shamad sebagai Zat yang tidak
beranak dan tidak diperanakkan. Sebab, tidak ada yang beranak kecuali dia
diwarisi; dan tidak ada yang diperanakkan kecuali dia akan mati. Allah SWT pun
memberitakan kepada kita bahwa Dia tidak diwarisi dan tidak beranak.12 Ubay
bin Kaab juga berpendapat bahwa makna ash-shamad dijelaskan
oleh ayat sesudahnya: Lam yalid walam yûlad; walam yakun lahu kufuw[an]
ahad.13 Penafsiran
lain diberikan Qatadah dan al-Hasan. Keduanya mengatakan bahwa ash-shamad bermakna al-bâqi (yang
kekal).
Kendati demikian, sebagaimana ditegaskan Ibnu Jarir ath-Thabari, penafsiran
yang lebih tepat adalah yang sesuai dengan makna yang telah dikenal oleh orang
yang bahasanya digunakan al-Quran. Menurut orang Arab, makna ash-shamad adalahas-sayyid yang
dituju atau dijadikan sebagai sandaran; dan tidak ada seorang pun yang di
atasnya.14
Dikatakan juga oleh Ibnu Anbari bahwa tidak terdapat perbedaan di kalangan
ahli bahasa bahwa ash-shamad adalah as-sayyid yang
tidak ada lagi seorang pun di atasnya, yang semua manusia bersandar kepada-Nya
dalam semua urusan dan kebutuhan mereka.15
Selanjutnya Allah SWT berfirman: Lam yalid walam yûlad (Dia
tidak melahirkan dan tidak pula dilahirkan). Ayat ini memberikan pengertian
bahwa tidak lahir dari-Nya anak; Dia juga tidak lahir dari sesuatu apa pun.16 Az-Zamakhsyari
mengatakan bahwa disebutkan lam yalid karena tidak ada yang
sejenis dengan-Nya sehingga bisa dijadikan oleh-Nya sebagai istri, kemudian
dari mereka lahirlah anak. Makna ini juga ditunjukkan oleh QS al-An’am [6]:
101.17
Meskipun dalam ayat ini digunakan kata lam, bukan berarti
hanya menafikan masa lampau. Sebab, ayat tersebut berlaku abadi. Demikian
pula nafiy dalam ayat ini. Menurut Fakhruddin ar-Razi,
digunakannya kata lam karena merupakan jawaban atas ucapan
mereka mengenai anak Allah SWT (QS ash-Shaffat [37]: 151-152).
Kemudian surat ini diakhiri dengan firman-Nya: walam yakun lahu
kufuw[an] ahad(dan tidak ada seorang pun yang setara dengan-Nya). Maknanya,
Allah Yang Maha Esa itu tidak ada yang menandingi atau menyamai-Nya. Menurut
Ibnu Jarir ath-Thabari, kata al-kufu’ wa al-kufâ wa al-kifâ’ dalam
bahasa Arab memiliki satu makna, yakni al-mitsl wa asy-syibh (semisal
dan serupa).18 Itu
berarti, tidak ada satu pun yang setara, sepadan, semisal atau sebanding
dengan-Nya.
Gambaran tentang Tauhid
Dari segi jumlah ayat, surat ini tergolong singkat, hanya terdiri empat
ayat. Kendati begitu, kandungan isinya amat padat. Keimanan kepada Allah SWT
yang menjadi perkara mendasar dalam Islam dijelaskan amat gamblang. Tidak
mengherankan jika Rasulullah saw. menyebut surat ini setara dengan tsuluts
al-Quran (sepertiga al-Quran).
Dalam surat ini terdapat pelajaran penting. Setidaknya ada tiga perkara
penting yang perlu ditandaskan kembali. Pertama: asmâ’ (nama)
Tuhan yang patut disembah. Sebagaimana telah diungkap, surat ini turun sebagai
jawaban atas pertanyaan kaum musyrik mengenai Tuhan yang disembah Rasulullah
saw. Ditegaskan dalam surat ini bahwa Huwal-Lâh (Dia adalah
Allah). Allah adalah nama Zat Pencipta alam semesta ini. Menurut al-Biqa’, nama
ini—yakni Allah—menunjuk semua sifat kesempurnaan: al-Jalâl wa
al-Jamâl. Nama ini juga mencakup seluruh makna al-asmâ’
al-husnâ.19 Bahwa
nama Rabb al-‘âlamînadalah Allah, amat banyak disebut dalam
al-Quran. Dengan nama itu pula manusia diperintahkan untuk memanggil dan berdoa
kepada-Nya (QS al-Isra’ [17]: 110).
Oleh karena itu, manusia hanya boleh menyebut-Nya dengan nama yang telah
diberitakan-Nya, yakni: Allah, Ar-Rahmân, atau al-asmâ’
al-husnâ lainnya. Manusia tidak boleh memanggil-Nya dengan nama lain
yang dibuat sendiri (QS Yusuf [12]: 40).
Kedua: tawhîdul-Lâh atau
(pengesaan terhadap Allah). Secara tegas dalam surat ini disebutkan bahwa Allah
SWT itu Ahad. Dia hanya satu, bukan dua, tiga, atau lebih
sebagaimana yang lazim diklaim oleh kaum kafir. Perkara ini amat banyak
diberitakan dalam ayat al-Quran. Bahkan perkara ini didakwahkan oleh semua nabi
dan rasul yang diutus Allah SWT. Tidak ada seorang pun di antara mereka kecuali
mengajak pada tauhid (lihat QS al-Anbiya’ [21]: 25; asy-Syura [42]: 13).
Keesaan Allah juga ditegaskan dalam ayat: lam yalid walam yûlad;
bahwa Allah tidak memiliki anak; tidak pula menjadi anak bagi selain-Nya; tidak
ada pula yang diangkat dan dijadikan sebagai anak-Nya (lihat QS al-Isra’ [17]:
111; Yunus [10]: 68).
Keesaan Allah disebutkan dalam firman-Nya: walam yakun lahu
kuffuw[an] ahad; bahwa tidak ada yang sama, serupa, sejenis, setara atau
sebanding dengan-Nya. Dia berbeda dengan semua makhluk-Nya (QS al-Syura [42]:
11).
Perkara tauhid ini merupakan perkara paling mendasar yang harus diimani
oleh setiap manusia. Siapa pun yang menganggap tuhan lebih dari satu,
memiliki anak atau ada yang setara dengan-Nya, maka dia telah terjatuh dalam
kekufuran dan kesyirikan. Jika dicermati, semua agama selain Islam dalam konsep
ketuhanannya telah terjatuh dalam kesalahan mendasar ini. Di antara agama itu
ada yang menganggap selain Allah sebagai tuhan, tuhan lebih dari satu, atau ada
makhluk yang setara dengan-Nya; tidak terkecuali agama yang sebelumnya dibawa
oleh para nabi, seperti Yahudi dan Nasrani. Kedua agama itu pun dikotori hawa
nafsu manusia sehingga terjatuh dalam kesyirikan. Yahudi menyebut Uzair sebagai
anak Allah. Nasrani menyebut Isa sebagai anak Allah (lihat QS at-Taubah [9]:
30; al-Maidah [5]: 72). Isa sendiri tidak pernah mengatakan perkataan batil itu
(lihat QS al-Maidah [5]: 116).
Dalam al-Quran cukup banyak ayat memberikan bantahan atas kebatilan
anggapan Tuhan lebih dari satu. Dalam QS al-Anbiya’ [21]: 22 ditegaskan, seandainya
ada banyak tuhan selain Allah, maka langit dan bumi akan binasa.
Orang-orang yang menganggap tuhan lebih dari satu, memiliki anak, atau
menyekutukan-Nya dengan yang lain telah diancam dengan hukuman yang amat keras.
Apabila mati dalam keadaan demikian maka dosanya tidak akan diampuni (lihat QS
al-Nisa [4]: 48, 111). Surga diharamkan atas mereka. Neraka adalah tempat
kembali mereka di akhirat; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya (lihat QS
al-Maidah [5]: 72-73).
Ketiga: kesempurnaan sifât Allah. Dalam
surat ini disebutkan bahwa Allah itu ash-shamad. Dalam
al-Quran, kata ini hanya disebut dalam surat ini. Jika dicermati, sifat ini
memiliki cakupan makna yang amat luas sekaligus meniscayakan adanya sifat-sifat
lainnya. Sebagaimana telah dipaparkan, kata ini mengandung
pengertian bahwa Dia adalah as-sayyid tertinggi dan tidak ada
yang lebih tinggi lagi. Artinya, Dia memang Mahatinggi (Al-‘Aliyy), Mahaagung (Al-‘Azhîm)
dan semua sifat lainnya yang menunjukkan ketinggian-Nya.
Kata ash-shamad juga mengandung makna bahwa Dia
tidak memerlukan yang lain. Itu berarti, sebagaimana diterangkan
az-Zamakhsyari, Dia adalah Al-Ghaniyy(Mahakaya, tidak butuh
terhadap yang lain).20 Karena
tidak membutuhkan yang lain, berarti Dia juga Al-Qadîr (Mahakuasa), Al-Qawiyy (Mahakuat), Al-‘Azîz(Mahaperkasa), Al-Hayy (Mahahidup)
dan semua sifat yang menunjukkan kekuatan-Nya.
Allah juga menjadi sandaran dan tempat bergantung bagi semua makhluk-Nya.
Dialah yang menciptakan semua makhluk-Nya (Al-Khâliq), menghidupkan
mereka (Al-Muhyî), memberikan rezeki kepada mereka (Ar-Razzâq,
Ar-Razîq) dan menolong hamba-Nya (An-Nâshir) serta semua semua sifat
lainnya yang menunjukkan bahwa Dia menjadi sandaran dan tempat bergantung bagi
seluruh hamba-Nya. Dengan demikian, hanya kepada-Nyalah manusia beribadah dan
bermohon.
Walhasil, surat ini memberikan gambaran amat jelas mengenai keimanan kepada
Allah SWT. Sebagaimana disimpulkan Abdurrahman as-Sa’di, surat ini mencakuptawhîd
al-asmâ’ wa al-shifât.21 Wallâh
a’lam bi ash-shawâb. []
Catatan kaki:
2 Az-Zamakhsyari, al-Kasysyâf, VI/460 (Riyad: Maktabah
Abikan, 1998); al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’an, XX/244
(Riyad: Dar ‘Alam al-Kutub, 2003); Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsî r
al-Bahr al-Muhîth, VIII/529 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993);
az-Zuhaili, At-Tafsîr al-Munîr, XXX//464 (Beirut: Dar al-Fikr,
1998).
19 Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’an, XX/245,
al-Sa’di, Taysîr al-Karîm al-Rahmân (Riyad: Muassasah
al-Risalah, 2000), 504; az-Zuhaili, At-Tafsîr al-Munîr,XXX/465
(Beirut: Dar al-Fikr, 1998).
11 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, vol.
24 (Makkah: al-Risalah, 2000), 691; al-Baghawi, Ma’âlim at-Tafsîr, VIII/588.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar