Kamis, 24 Desember 2015

MENGENAL LEBIH DALAM SURAT AL LAHAB

MENGENAL LEBIH DALAM SURAT AL LAHAB

بسم الله الرحمن الرحيم
تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ وَتَبَّ (1) مَا أَغْنَى عَنْهُ مَالُهُ وَمَا كَسَبَ (2) سَيَصْلَى نَارًا ذَاتَ لَهَبٍ (3) وَامْرَأَتُهُ حَمَّالَةَ الْحَطَبِ (4) فِي جِيدِهَا حَبْلٌ مِنْ مَسَدٍ (5)
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang
[1] “Celakalah kedua tangan Abu Lahab, dan binasalah ia.”
Abu Lahab adalah salah satu paman nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sangat memusuhi nabi dan suka menyakiti beliau. Oleh sebab itulah Allah mencelanya dengan celaan yang sangat keras yang akan berbuah kehinaan baginya hingga hari kiamat tiba (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman [2/1307]).
[2] “Tidak bisa mencukupinya harta maupun apa yang diusahakan olehnya.”
Artinya tidak akan bisa menolak azab Allah harta atau apa yang diusahakan olehnya (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman [2/1307]).
[3] “Kelak dia akan masuk ke dalam neraka yang menyala-nyala.”
Artinya kelak dia akan dikepung oleh jilatan api neraka dari segala sisi (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman [2/1307]).
[4] “Demikian juga istrinya sang membawa kayu bakar.”
Istri Abu Lahab juga sangat memusuhi dan suka menyakiti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bersama dengan suaminya, dia bahu-membahu melakukan perbuatan dosa dan pelanggaran. Dia berusaha sekuat tenaga untuk menyakiti Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh sebab itu dia ‘berhasil’ menumpuk-numpuk dosa di atas punggungnya laksana orang yang memanggul kayu bakar (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman [2/1308]).
Ahli tafsir yang lain yaitu Mujahid menafsirkan bahwa ungkapan ‘sang pembawa kayu bakar’ merupakan kiasan yang bermakna orang yang suka mengadu-domba. Dahulu, Ummu Jamil -istri Abu Lahab- suka menebar fitnah demi mengadu-domba antara nabi dan para sahabatnya dengan kaum musyrikin. Karena perbuatannya itulah yang menyebabkan dia dijuluki sebagai sang pembawa kayu bakar (lihat Umdat al-Qari’ [20/12])
[5] “Yang di lehenya ada tali (kalung) dari sabut.”
Seperti layaknya orang yang memanggul kayu bakar di atas punggungnya yang mengikatkan tali di lehernya. Bisa juga dimaknakan, bahwa kelak di neraka dia lah yang akan membawa kayu bakar untuk membakar suaminya seraya mengalungi tali dari bahan sabut di lehernya (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman [2/1308]).

Pelajaran yang bisa dipetik dari surat ini, antara lain:

1. Salah satu mukjizat dari Allah dengan diturunkannya surat ini -yang berisi kabar bahwa Abu Lahab dan istrinya akan masuk neraka- sedangkan mereka berdua masih dalam kondisi hidup

2. Konsekuensi dari surat ini adalah bahwa mereka berdua tidak akan masuk Islam, dan hal itu benar-benar terjadi sebagaimana yang diberitakan oleh Allah (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman [2/1308]).

3. Surat ini juga menunjukkan keabsahan pernikahan yang dilakukan oleh orang-orang musyrik (lihat adh-Dhau’ al-Munir ‘ala at-Tafsir [6/479])

4. Sebuah sunnatullah di dalam dakwah, bahwa seorang da’i senantiasa dihadapkan dengan musuh-musuh yang menentang dan merongrong dakwahnya. Bahkan, terkadang yang memusuhi dakwah adalah orang yang dekat dengan dirinya secara nasab/garis keturunan. Walaupun begitu, seorang da’i harus membekali dirinya dengan kesabaran dan keyakinan agar dakwahnya tetap terus berjalan. Karena kecintaan kepada Allah dan rasul-Nya itulah yang paling utama harus dibela dan dikedepankan. Dia tidak ridha apabila Allah dan rasul-Nya dilecehkan dan dihinakan.
Oleh sebab itu, siapa pun yang menentang Allah dan rasul-Nya -meskipun sanak saudaranya sendiri- akan dia musuhi dan dia lebih memilih sikap untuk berlepas diri. Allah ta’ala telah memberikan teladan dalam ayat-Nya (yang artinya), “Sungguh telah ada pada diri Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya sebuah teladan yang bagus. Yaitu ketika mereka berkata kepada kaumnya; Sesungguhnya kami berlepas diri dari kalian dan dari segala yang kalian sembah selain Allah. Kami mengingkari perbuatan kalian, dan telah tampak jelas antara kami dengan kalian permusuhan dan kebencian, sampai kalian beriman kepada Allah semata.” (QS. al-Mumtahanah: 4).
Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Tidak akan kamu temukan suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhir, akan berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan rasul-Nya, walaupun mereka itu adalah bapak-bapak mereka, atau anak-anak mereka, atau saudara-saudara mereka, atau sanak kerabat mereka…” (QS. al-Mujadalah: 22)


MENGENAL LEBIH DALAM SURAT AT TAKATSUR

MENGENAL LEBIH DALAM SURAT AT TAKATSUR

Manusia banyak yang lalai karena kesibukannya saling berlomba meraih dunia. Ada yang rakus akan kedudukan atau kekuasaan. Ada juga yang saling menyombongkan diri dengan harta dan anaknya. Mereka barulah berhenti ketika sampai di liang lahat. Padahal semua nikmat kelak akan ditanya.
Allah Ta’ala berfirman,

بسم الله الرحمن الرحيم

أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ (1) حَتَّى زُرْتُمُ الْمَقَابِرَ (2) كَلَّا سَوْفَ تَعْلَمُونَ (3) ثُمَّ كَلَّا سَوْفَ تَعْلَمُونَ (4) كَلَّا لَوْ تَعْلَمُونَ عِلْمَ الْيَقِينِ (5) لَتَرَوُنَّ الْجَحِيمَ (6) ثُمَّ لَتَرَوُنَّهَا عَيْنَ الْيَقِينِ (7) ثُمَّ لَتُسْأَلُنَّ يَوْمَئِذٍ عَنِ النَّعِيمِ (8)

Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam kubur. Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu), dan janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui. Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin, niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jahiim, dan sesungguhnya kamu benar-benar akan melihatnya dengan ‘ainul yaqin. kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu).” (QS. At Takatsur: 1-8).
Surat ini menjelaskan tentang orang-orang yang lalai dari beribadah kepada Allah. Padahal ibadah itulah tujuan diciptakannya manusia. Yang dimaksud di sini adalah beribadah kepada Allah semata dan meninggalkan ibadah kepada selain Allah, mengenal-Nya dan mendahulukan cinta Allah dari lainnya.
Manusia Menjadi Lalai
Manusia menjadi lalai karena waktunya hanya dihabiskan untuk membanggakan diri dengan harta. Berbangga di sini bisa jadi pada anak, harta, dan kedudukan. Sedangkan berlomba-lomba atau saling mengejar untuk meraih ridho Allah tidak termasuk di sini.
Terus Berbangga Hingga Ke Liang Lahat
Manusia akan terus berbangga satu dan lainnya hingga mereka masuk ke dalam kubur. Artinya, ketika mereka merasakan kematian, barulah mereka berhenti dari berbangga-bangga dengan harta.
Namun perlu diketahui bahwa alam kubur hanyalah tempat mampir sebelum sampai ke alam berikutnya. Alam kubur bukanlah tempat mukim selamanya. Dalam ayat ini pun dikatakan demikian, yaitu disebut alam kubur sebagai tempat ziarah, artinya berkunjung dan itu sifatnya sementara. Negeri yang kekal abadi adalah di akhirat kelak.
Ayat ini sekaligus menunjukkan bahwa amalan itu akan dibalas di negeri yang kekal abadi (bukan negeri yang akan fana).
Jika Mereka Tahu …
Seandainya mereka tahu apa yang terjadi di depan mereka yaitu mengetahui dengan ilmu yang sampai ke hati, tentu mereka tidak lalai sehingga terus-terusan berbangga-bangga dengan harta. Jika mereka tahu, tentu mereka akan segera beramal sholeh.
Namun sayangnya, mereka benar-benar tidak tahu sehingga mereka pun akan melihat neraka Jahim yang dijanjikan pada orang-orang kafir.
Surat Makiyah, terdiri dari 8 Ayat, turun sesudah surat Al-Kautsar. 

PEMBAHASAN LEBIH DALAM

Imam Ibnu Katsir menjelaskan : bahwa Ibnu Abu Hatim telah mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id, dari abu Usamah, dari Saleh Ibnu Hibban, dari Abu Buraidah, Bahwa Surat ini diturunkan berkenaan dengan dua kabilah Ansar (Bani Haritsah dan Banil Harits), dimana mereka saling membanggakan diri dengan harta-harta mereka yang banyak. hingga turunlah firman Allah Ta'ala dalam surat at-Takatsur.

Kemudian Imam Ibnu Katsir mengatakan : Allah Subhanahu wata'ala berfirman : bahwasanya kalian sering sekali disibukan oleh kecintaan terhadap hal-hal yang bersifat duniawi dan kesenangan akan berbagai perhiasan yang ada didalamnya, sehingga mengakibatkan kalian melalaikan bahkan melupakan terhadap upaya untuk mencari kebahagiaan akhirat. ketahuilah, bahwa obsesi memburu kesenangan dunia, mengejar kesuksesan dunia hanya akan berdampak pada terabaikannya urusan-urusan akhirat, hingga tanpa disadari maut datang menjemput dan kalian dimasukan kedalam kubur.
Di awal ayat, Allah Ta’ala berfirman

أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ, حَتَّىٰ زُرْتُمُ الْمَقَابِرَ
“Bermegah-megahan telah melalaikan kamu. sampai kamu masuk ke dalam kubur.” (QS. At-Takatsur:1- 2).

Dalam bahasa arab, kata أَلْهَاكُمُ bermakna telah membuat kalian lupa. sedangkan kata التَّكَاثُرُ bermakna bermegahan-megahan dan saling memperbanyak harta.

Ibnu Abu Hatim mengatakan bahwa Ibnu Zaid Ibnu Aslam dari ayahnya yang mengatakan bahwa Rosulullah Sallallahu 'alaihi wasallam pernah bersabda :
أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ- عن الطاعة   - حَتَّىٰ زُرْتُمُ الْمَقَابِرَ - حتى يأتيكم الموت -

Bermegah-megahan telah melalaikan kalian dari ketaatan, sampai kalian masuk kedalam kubur (sampai maut datang menjemput kalian)

Di dalam Kitab Shahih Bukhori dalam Bab Raqaa'iq telah disebutkan hal yang sama dari Al-Hasan Al-Basri dari ubay Ibnu Ka'ab mengatakan bahwa sebelum turun ayat Alhaakumuttakaatsur, Nabi Shallallahu 'alaihi wasalam pernah bersabda :
لوكان لابْن آدَمَ وَادِ مِنْ ذَهَبٍ... إلى اخيره 

Senada dengan Hadits dari Ibnu ‘Abbas bin Sahl bin Sa’ad, ia berkata bahwa ia pernah mendengar Ibnu Az-Zubair berkata di atas mimbar saat khutbah di Makkah, “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لوأَنَّ ابْنَ آدَمَ أُعْطِىَ وَادِيًا مَلأً مِنْ ذَهَبٍ أَحَبَّ إِلَيْهِ ثَانِيًا ، وَلَوْ أُعْطِىَ ثَانِيًا أَحَبَّ إِلَيْهِ ثَالِثًا، وَلاَ يَسُدُّ جَوْفَ ابْنِ آدَمَ إِلاَّ التُّرَابُ ، وَيَتُوبُ اللَّهُ عَلَى مَنْ تَابَ

Seandainya manusia diberi satu lembah penuh dengan emas, ia tentu ingin lagi yang kedua. Jika ia diberi yang kedua, ia ingin lagi yang ketiga. Tidak ada yang bisa menghalangi isi perutnya selain tanah. Dan Allah Maha Menerima taubat siapa saja yang mau bertaubat.” (HR. Bukhari no. 6438).

Dalam Nuzhatul Muttaqin Syarh Riyadhus Sholihin yang diantaranya ditulis oleh Syaikh Musthofa Al Bugho, bahwa yang dimaksud dengan “Tidak ada yang memenuhi perutnya kecuali tanah” adalah ia terus menerus memenuhi dirinya dengan harta sampai ia mati lantas dikuburnya, isi perutnya dipenuhi dengan tanah kuburan.

Para Ulama ahli Hadits seperti Imam Muslim, Imam Tirmidzi, dan Imam Nasa'i Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

يَقُولُ الْعَبْدُ مَالِى مَالِى إِنَّمَا لَهُ مِنْ مَالِهِ ثَلاَثٌ مَا أَكَلَ فَأَفْنَى أَوْ لَبِسَ فَأَبْلَى أَوْ أَعْطَى فَاقْتَنَى, وَمَا سِوَى ذَلِكَ فَهُوَ ذَاهِبٌ وَتَارِكُهُ لِلنَّاسِ

“Seorang hamba berkata, “Harta-hartaku.” Bukankah hartanya itu hanyalah tiga: yang ia makan dan akan sirna, yang ia kenakan dan akan usang, harta yang ia berikanlah (yang dibelanjakan dijalan allah-pen) yang sebenarnya harta yang ia kumpulkan. Harta selain itu akan sirna dan diberi pada orang-orang yang ia tinggalkan.” (HR. Muslim, At-Tirmidzi dan An-Nasa'i).

Dari Anas bin Malik, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

يَتْبَعُ الْمَيِّتَ ثَلاَثَةٌ ، فَيَرْجِعُ اثْنَانِ وَيَبْقَى مَعَهُ وَاحِدٌ ، يَتْبَعُهُ أَهْلُهُ وَمَالُهُ وَعَمَلُهُ ، فَيَرْجِعُ أَهْلُهُ وَمَالُهُ ، وَيَبْقَى عَمَلُهُ

“Yang akan mengiringi mayit (hingga ke kubur) ada tiga. Yang dua akan kembali, sedangkan yang satu akan menemaninya. Yang mengiringinya tadi adalah keluarga, harta dan amalnya. Keluarga dan hartanya akan kembali. Sedangkan yang tetap menemani hanyalah amalnya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Kemudian dalam ayat selanjutnya Allah Azza wajalla berfirman :

كَلَّا سَوْفَ تَعْلَمُونَ, ثُمَّ كَلَّا سَوْفَ تَعْلَمُونَ

“Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui. dan janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui” (QS. At-Takatsur: 3-4).

"Al-hasan mengatakan bahwa dalam ayat ini mengandung pengertian ancaman sesudah ancaman lainnya." Sahabat sekalian, sesungguhnya kita telah diancam sekaligus diingatkan oleh Allah Ta'ala, bahwa ketika kematian datang menjemput. Barulah kita sadar akan kelalaian kita, sadar bahwa apa yang kita lakukan adalah kesia-siaan. Barulah kita paham, bahwa harta yang telah susah payah kita kumpulkan akhirnya ditinggalkan. dan barulah  kita ingat bahwa dunia itu amatlah singkat dan perjalanan akhirat yang kekal butuh perbekalan yang sangat banyak.

Dalam kondisi demikian, manusia semakin sadar dan semakin mengetahui, bahwa ketika ia telah masuk ke dalam kubur. Ia tidak lagi bisa memohon agar dikembalikan ke dunia, yang ada hanyalah pertanggung-jawaban kepada Allah Ta'ala. Sementara harta yang bertahun-tahun ia kumpulkan, saat itu sedang dibagi-bagi oleh keluarganya, sedangkan ia harus susah payah mempertanggung-jawabkan harta hasil jerih payahnya itu. harta dari yang halal akan DIHISAB dan harta dari yang haram akan DIADZAB.

Selanjutnya Allah berfirman :
كَلَّا لَوْ تَعْلَمُونَ عِلْمَ الْيَقِينِ

“Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin (‘ilmu al-yaqin).” (QS. At-Takatsur: 5).

Dalam ayat ini, Allah mengingatkan manusia. Dan ini adalah bentuk kasih sayang Allah kepada para hamba-Nya. Allah ingatkan, janganlah kalian para hamba-Ku disibukkan dengan perlombaan dunia, Jangan terlena dengan kemewahan yang maya, jangan haus akan kekayaan yang fana, karena hal demikian akan melalaikan dan melupakan kalian dari mencari bekal akhirat. Ketahuilah...!! kemudian Yakinilah...!! bahwa kematian itu pasti akan terjadi. Dan tidak ada seorang pun yang akan luput dari kejaran MAUT.

Kemudian disebutkan dalam firman selanjutnya :
لَتَرَوُنَّ الْجَحِيمَ, ثُمَّ لَتَرَوُنَّهَا عَيْنَ الْيَقِينِ

“Niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jahim. dan sesungguhnya kamu benar-benar akan melihatnya dengan ´ainul yaqin” (QS. At-Takatsur: 6-7).

Jahim adalah nama dari nama-nama neraka. dan ayat ini merupakan penjelasan dari ancaman yang telah disebutkan diatas, yaitu pada firman كَلَّا سَوْفَ تَعْلَمُونَ, ثُمَّ كَلَّا سَوْفَ تَعْلَمُونَ . Allah mengancam mereka dengan Neraka Jahim, yaitu saat ahli neraka melihat neraka yang sedang bergolak dengan dahsyat, maka menyungkurlah semua malaikat terdekat dan para nabi pun duduk bersediku diatas kedua lututnya karena sangat takut menyaksikan peristiwa yang sangat mengerikan itu.

Dan saat dibangkitkan itulah pengetahuan manusia yang sebelumnya sebatas keyakinan berdasarkan kabar dari ilmu (‘ilmu al-yaqin) berganti menjadi penginderaan (‘ainu al-yaqin), Pengetahuan akan hari kebangkitan yang sebatas keyakinan di dalam hati semakin dibuktikan dengan indera penglihatan. Semakin menyesallah orang-orang yang menyesal dan selamatlah orang-orang yang berbekal.

Surat At-Takatsur ini Allah tutup dengan firman-Nya,
ثُمَّ لَتُسْأَلُنَّ يَوْمَئِذٍ عَنِ النَّعِيمِ

“kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu).” (QS. At-Takatsur: 6).

Semua manusia, baik mukmin maupun kafir akan ditanya tentang kenikmatan-kenikmatan dunia yang mereka kecap.

berkenaan dengan hal ini, Ada sebuah kisah yang cukup panjang yang diriwayatkan oleh Imam Muslim di dalam Kitab Shahih-nya, Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan, (yang singkatnya) : Beliau Shallallahu 'alaihi wasallam bersama Abu bakar as-shidiq bin Abi Kuhafah juga Umar bin khatab, keluar dalam keadaan lapar menuju rumah salah seorang sahabat Anshar ( Abu Ayyub al-Anshari). singkat cerita, ketika bertemu dengan sahabat yang dimaksud, sahabat itu memandang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan dua orang rekannya. Dia berkata, “Segala puji bagi Allah, pada hari ini aku tidak mendapatkan tamu-tamu yang lebih mulia selain diri tamuku.”

Lalu sahabat itu menghidangkan korma segar dan korma yang sudah dikeringkan. Dia berkata, “Makanlah hidangan ini”. Lalu orang sahabat itu menyembelih domba, dan mereka semua makan dan minum. Setelah mereka kenyang, beliau bersabda shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Abu Bakar dan Umar, “Demi yang diriku ada di Tangan-Nya, kalian benar-benar akan ditanya tentang kenikmatan ini pada hari kiamat. Rasa lapar telah membuat kalian keluar dari rumah, kemudian kalian tidak kembali melainkan setelah mendapat kenikmatan ini.”

sahabat sekalian, Jika makanan yang halal dan sedikit saja akan Allah tanyakan. lantas bagaimana dengan harta yang banyak yang dikumpulkan dalam perlombaan bermegah-megahan, serta kenikmatan-kenikmatan lain yang kita nikmati.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

فَوالله مَا الفَقْرَ أخْشَى عَلَيْكُمْ ، وَلكِنِّي أخْشَى أنْ تُبْسَط الدُّنْيَا عَلَيْكُمْ كَمَا بُسِطَتْ عَلَى مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ ، فَتَنَافَسُوهَا كَمَا تَنَافَسُوهَا ، فَتُهْلِكَكُمْ كَمَا أهْلَكَتْهُمْ

“Demi Allah. Bukanlah kemiskinan yang aku khawatirkan menimpa kalian. Akan tetapi aku khawatir ketika dibukakan kepada kalian dunia sebagaimana telah dibukakan bagi orang-orang sebelum kalian. Kemudian kalian pun berlomba-lomba dalam mendapatkannya sebagaimana orang-orang yang terdahulu itu. Sehingga hal itu membuat kalian menjadi binasa sebagaimana mereka dibinasakan olehnya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Dari beberapa ayat yang Allah sebutkan tentang sifat kehidupan dunia, tidak satu pun ayat yang menyebutnya dengan bentuk pujian terhadap dunia. Sebagaimana firman-Nya,

اعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرٌ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِي الْأَمْوَالِ وَالْأَوْلَادِ ۖ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهُ ثُمَّ يَهِيجُ فَتَرَاهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُونُ حُطَامًا ۖ وَفِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيدٌ وَمَغْفِرَةٌ مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانٌ ۚ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ

“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah- megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak. Seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (QS. Al-Hadid: 20).

Sahabat sekalian, dalam sebuah hadits qudsi Allah Ta'ala berfirman :

“Wahai Dunia jika hambaku mengejarmu maka perbudaklah dia olehmu. Namun, jika Allah tujuannya jadilah engkau (Dunia) takluk pada hambaku.”

Diakhir tulisan ini, saya ketengahkan sebuah perkataan seorang penyair :

أنت للمال إذاأمسكته  # فاذا أنفقته فالمال لك  
Engkau ditunggangi harta jika engkau pegang dia # maka jika engkau belanjakan dia, berarti itu adalah milik mu (bekalmu-pen).
Sumber :

Selasa, 15 Desember 2015

MENGENAL LEBIH DALAM SURAT AL KAUTSAR

MENGENAL LEBIH DALAM SURAT AL KAUTSAR

بسم الله الرحمن الرحيم
إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ () فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ () إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الْأَبْتَرُ
“Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dari itu, dirikanlah shalat karena Rabbmu dan berkurbanlah. Sesungguhnya, orang-orang yang membencimu dialah yang terputus.” (al-Kautsar: 1—3)
Ø  Sebab Turunnya Ayat
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengisahkan, ketika Ka’ab bin Asyraf tiba di kota Makkah, orang-orang Quraisy bertanya kepadanya, Apakah engkau pemuka mereka? Tidakkah engkau melihat orang ini, yang mengaku lebih baik daripada kami?Padahal kami adalah ahli haji, pengabdi Ka’bah, dan pemberi (penyaji) minuman.’ Ka’ab berkata, ‘Kalian lebih baik darinya.’ Turunlah ayat,‘Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak’.” Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah mengatakan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh al- Bazzar rahimahullah dan sanadnya sahih.
Ø  Mufradat Ayat
الْكَوْثَرَ
“Kenikmatan yang banyak.”
Para ulama tafsir berbeda pendapat tentang makna “al-Kautsar”:
a           Maknanya adalah sungai di dalam jannah (surga) yang diberikan oleh Allah Subhanahu wata’alakepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam. Hal ini berdasarkan riwayat dari beberapa sahabat, seperti Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Anas bin Malik, ‘Aisyah , serta tabi’in seperti Mujahid dan Abul ‘Aliyah rahimahumallah.
b           Maknanya adalah kebaikan(nikmat) yang banyak. Hal ini berdasarkan riwayat dari Ibnu Abbasradhiyallahu ‘anhuma, Sa’id bin Jubair, Ikrimah, dan Mujahid rahimahumullah. Pada sebuah riwayat yang dikeluarkan oleh al-Bukhari rahimahullah dan yang lain, dari Abu Bisyr rahimahullah, dia pernah bertanya kepada Sa’id bin Jubair rahimahullah tentang pendapat yang mengatakan bahwa al- Kautsar adalah sungai di jannah. Beliau menjawab, sungai di jannah termasuk bagian dari kebaikan yang Allah Subhanahu wata’ala berikan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, dari Ikrimah rahimahullah; beliau berkata bahwa makna al-Kautsar adalah kebaikan yang banyak, kenabian, Islam, al-Qur’an, dan hikmah.
c           Maknanya adalah telaga di jannah. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, dari Atha’ rahimahullah; beliau berkata bahwa makna al-Kautsar adalah telaga di jannah yang diberikan oleh Allah Subhanahu wata’ala kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Menurut Ibnu Jarirrahimahullah, dari sekian pendapat di atas, yang paling mendekati kebenaran adalah pendapat yang menyatakan bahwa al-Kautsar merupakan sungai di jannah yang diberikan kepada RasulullahShallallahu ‘alaihi wasallam. Dalam al-Qur’an, Allah Subhanahu wata’ala menyebutnya dengan al-Kautsar (kebaikan atau kenikmatan yang banyak) karena keagungan nilainya.
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
“Maka dari itu, dirikanlah shalat karena Rabbmu dan berkurbanlah.”
Terdapat beberapa penafsiran dari ulama salaf tentang ayat di atas.
a                Maknanya adalah meletakkan tangan kanan pada tangan (lengan) kiri di atas dada ketika shalat. Pendapat ini diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu. Pendapat yang semakna diriwayatkan pula dari asy-Sya’bi.
b               Maknanya adalah shalat fardhu dan mengangkat kedua tangan sejajar nahr (pangkal leher) saat membuka shalat (takbiratul ihram).
c                Maknanya adalah shalat fardhu atau shalat fajar dan menyembelih unta di Mina atau pada hari Idul Adha.
d               Maknanya adalah shalat Idul Adha dan menyembelih hewan kurban.
e                Pendapat yang lain mengatakan bahwa ayat ini turun berkaitan dengan perintah Allah Subhanahu wata’ala kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Sebab, orang-orang (musyrik) pada waktu itu melaksanakan shalat dan menyembelih untuk selain Allah Subhanahu wata’ala. Maka dari itu, Allah Subhanahu wata’ala memerintah beliau, Jadikanlah shalat dan sembelihanmu karena AllahSubhanahu wata’ala. Sebagian ulama berpendapat, ayat ini turun saat terjadi Perjanjian Hudaibiyah, ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya dikepung dan dihalangi dari Ka’bah.
Lalu Allah Subhanahu wata’ala memerintahkan agar beliau melaksanakan shalat, menyembelih unta, dan kemudian berpaling. Menurut Ibnu Jarir rahimahullah, dari semua pendapat di atas, yang paling utama dan yang benar adalah pendapat yang mengatakan bahwa maknanya adalah Jadikanlah shalatmu seluruhnya karena Rabbmu, dengan mengikhlaskannya hanya untuk-Nya, bukan untuk selain- Nya. Demikian pula sembelihanmu, jadikanlah hanya untuk-Nya, bukan untuk berhala. Bersyukurlah kepada-Nya atas kemuliaan dan kebaikan yang tidak ada tandingannya yang hanya diberikan kepadamu. Ibnu Jarir menguatkan pendapat ini karena Allah Subhanahu wata’ala telah memberitakan kepada Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wasallam tentang pemberian, kemuliaan, dan kenikmatan (al-Kautsar) yang dengannya Dia Subhanahu wata’ala memuliakan beliau. Tafsirnya, sesungguhnya Aku telah memberimu—wahai Muhammad—al- Kautsar, sebagai bentuk pemberian nikmat dan pemuliaan untukmu dari Kami. Maka dari itu, ikhlaskanlah ibadah hanya untuk Rabbmu. Tunaikanlah shalat dan kurban hanya untuk-Nya.
إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الْأَبْتَرُ
“Sesungguhnya orang-orang yang membencimu, dialah yang terputus.”
Maknanya, orang yang membenci dan memusuhimu, dialah yang terputus, rendah, hina, dan binasa. Tentang siapa yang dimaksud oleh ayat ini, terjadi perbedaan pendapat. Ada yang mengatakan, yang dimaksud adalah al-‘Ash bin Wa’il. Ada pula yang menyatakan, dia adalah ‘Uqbah bin Abi Mu’aith. Yang lain mengatakan, mereka adalah beberapa orang dari suku Quraisy. Yang benar, menurut ath-Thabari t menurutnya, Allah l mengabarkan bahwa orang yang membenci Rasul Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah yang rendah, hina, dan terputus. Hal itu menjadi ciri setiap manusia yang membenci beliau, meskipun ayat ini turun berkenaan dengan orang tertentu. (Tafsir ath-Thabari, 24/679—697)
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata dalam kitab Tafsir Juz ‘Amma, sebagian ulama berpendapat bahwa surat ini adalah surat Makkiyah, sedangkan yang lain berpendapat Madaniyah. Surat Makkiyah adalah surat yang diturunkan sebelum hijrah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam ke Madinah, baik turun di Makkah maupun di Madinah, atau di waktu safar. Jadi, surat Madaniyah adalah surat yang diturunkan setelah hijrah. Inilah pendapat yang kuat dari sekian pendapat ulama. Adapun kata al-Kautsar, dalam bahasa Arab artinya adalah kebaikan (kenikmatan) yang banyak.
Demikianlah, Allah Subhanahu wata’ala telah memberi Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallamkebaikan yang banyak, di dunia dan di akhirat. Di antara kebaikan itu adalah sungai besar yang berada di jannah, yang mengalir menuju telaga Nabi. Warna airnya lebih putih daripada air susu, lebih manis daripada madu, dan lebih harum daripada minyak wangi. Telaga itu berada di tempat yang terbuka di hari kiamat. Orang-orang mukmin dari umat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallamakan mendatangi tempat itu. Jumlah cangkir dan keelokannya sebanyak gugusan dan keindahan bintang yang berada di langit. Barang siapa hidup di dunia menjalani agama Islam di atas syariat beliau (sesuai dengan tuntunan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam), di akhirat ia akan diizinkan mendatangi telaga tersebut. Sebaliknya, barang siapa menjalani agama Islam tidak di atas syariat beliau, di akhirat ia akandihalangi sehingga tidak bisa mendatangi telaga itu. Di antara sekian banyak kebaikan yang telah diberikan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam di dunia adalah apa yang terdapat dalam hadits berikut.
أُعْطِيْتُ خَمْسًا، لَمْ يُعْطَهُنَّ أَحَدٌ قَبْلِي: نُصِرْتُ بِالرُّعْبِ مَسِيْرَةَ شَهْرٍ، وَجُعِلَتْ لِيَ الْأَرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُورًا، فَأَيُّمَا رَجُلٍ مِنْ أُمَّتِي أَدْرَكَتْهُ الصَّلاَةُ فَلْيُصَلِّ، وَأُحِلَّتْ لِيَ الْمَغَانِمُ وَلَمْ تَحِلَّ لِأَحَدٍ قَبْلِي، وَأُعْطِيتُ الشَّفَاعَةَ، وَكَانَ النَّبِيُّ يُبْعَثُ إِلَى قَوْمِهِ خَاصَّةُ وَبُعِثْتُ إِلَى النَّاسِ عَامَّةً
“Aku diberi lima hal yang tidak diberikan kepada seorang nabi pun sebelumku: (1) Diberikan kemenangan kepadaku dengan sebab gentarnya musuh dari jarak perjalanan satu bulan; (2) dijadikan bumi sebagai tempat shalat dan bersuci untukku, maka siapa pun laki-laki yang sampai kepadanya waktu shalat, hendaklah ia shalat; (3) diberikan kepadaku syafaat; (4) dihalalkan untukku ghanimah; dan (5) dahulu para nabi diutus hanya kepada kaumnya saja, sedangkan aku diutus kepada seluruh manusia.” (HR. al-Bukhari dan Muslim dari Jabir radhiyallahu ‘anhu)
Semua ini adalah kebaikan (nikmat) yang banyak. Karena beliau diutus kepada seluruh manusia, konsekuensinya, beliaulah nabi yang paling banyak pengikutnya. Dimaklumi bersama bahwa seseorang yang mengajarkan kebaikan akan mendapat pahala seperti halnya pelakunya. Orang yang telah menuntun umat kepada kebaikan dengan jumlah yang luar biasa adalah Nabi MuhammadShallallahu ‘alaihi wasallam. Dengan demikian, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam akan mendapatkan bagian pahala dari setiap individu di antara umatnya. Tidak ada yang mampu menghitung jumlah umat beliau selain Allah Subhanahu wata’ala. Di antara kebaikan yang diberikan kepada beliau di akhirat adalah almaqam al-mahmud, seperti syafaat al-uzhma (syafaat yang agung).
Sebab, pada hari kiamat manusia mengalami bencana, kesulitan, dan kesusahan yang tak kuasa mereka menahannya. Akhirnya, mereka meminta syafaat. Mereka pun mendatangi Nabi Adam, lalu Nabi Nuh, Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa ‘Alaihissalam, hingga berakhir kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau pun berdiri dan memberi syafaat. Allah Subhanahu wata’ala  pun memutuskan di antara hamba-Nya dengan syafaat beliau. Ini adalah kedudukan yang akan senantiasa dipuji oleh orang-orang yang mterdahulu hingga akhir zaman. Kedudukan ini termasuk dalam firman Allah Subhanahu wata’ala,
ڍ
عَسَىٰ أَن يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَّحْمُودًا
“Mudah-mudahan Rabbmu akan mengangkatmu ke tempat yang terpuji.” (al-Isra’: 79)
Al-Kautsar adalah kebaikan yang banyak. Di antaranya adalah sungai yang berada di jannah, yang juga disebut al- Kautsar. Akan tetapi, al-Kautsar tidak terbatas pada hal itu saja. Setelah menyebutkan karunia- Nya yang begitu banyak, Allah Subhanahu wata’ala memerintahkan,
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
“Maka dari itu, dirikanlah shalat karena Rabbmu dan berkurbanlah.”
Maknanya, sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah Subhanahu wata’ala atas nikmat yang sangat agung ini, dirikanlah shalat dan berkurbanlah hanya untuk Allah Subhanahu wata’ala. Yang dimaksud shalat di sini adalah seluruh jenis shalat. Pertama kali yang dimaksud oleh ayat ini adalah shalat yang disertai oleh berkurban, yaitu shalat Idul Adha. Meski demikian, ayat ini mencakup keseluruhan shalat. Jadi, “dirikanlah shalat karena Rabbmu,” baik yang fardhu maupun yang sunnah, demikian pula shalat ied dan shalat jumat. Makna “berkurbanlah” adalah dekatkanlah dirimu kepada AllahSubhanahu wata’ala dengan cara berkurban. Kata “nahr” maknanya adalah cara penyembelihan unta (dengan menusuk/memotong aliran darah di bagian atas dada, dalam posisi hewan berdiri). Adabun“dzabh”, adalah istilah penyembelihan hewan sapi ataupun kambing (dengan memotong empat saluran pada bagian leher, dalam posisi hewan direbahkan).
Ayat ini hanya menyebutkan “nahr” karena daging unta lebih bermanfaat daripada yang lain ketika dibagikan kepada orang-orang miskin. Karena itu, pada Haji Wada’ Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallammemotong 100 ekor unta, 63 ekor beliau potong sendiri dan sisanya beliau wakilkan kepada Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu. Seluruhnya beliau sedekahkan kecuali sedikit dari setiap unta, yang beliau ambil untuk dimasak lalu dimakan dagingnya dan diminum kuahnya. Perintah dalam ayat ini berlaku untuk beliau dan umatnya. Maka dari itu, kita wajib mengikhlaskan shalat dan berkurban hanya untuk Allah Subhanahu wata’ala, sebagaimana yang diperintahkan kepada Nabi MuhammadShallallahu ‘alaihi wasallam. Kemudian Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الْأَبْتَرُ
“Sesungguhnya orang-orang yang membencimu dialah yang terputus.”
Makna syaniaka adalah orang yang membencimu, karena syanaan artinya kebencian. Contohnya adalah firman Allah Subhanahu wata’ala,
وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ أَن صَدُّوكُمْ عَنِ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ أَن تَعْتَدُوا ۘ
“Dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) terhadap suatu kaum karena mereka menghalang-halangimu dari Masjidil Haram, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka).” (al Maidah: 2)
Artinya, janganlah kebencian (kalian) kepada mereka membawa kalian berbuat melampaui batas. Demikian pula firman Allah Subhanahu wata’ala,
وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَىٰ أَلَّا تَعْدِلُوا ۚ اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ
“Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum mendorongmu untuk berlaku tidak adil.Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.” (al-Maidah: 8)
Artinya, janganlah kebencian kepada mereka membawamu untuk meninggalkan keadilan (sikap adil).Al-abtar adalah isim tafdhil. Arti kata ini adalah terputus, yaitu terputus dari semua kebaikan. Hal ini terjadi karena orangorang kafir Quraisy mengatakan bahwa Muhammad (Shallallahu ‘alaihi wasallam) adalah abtar, yaitu tidak ada kebaikan dan berkah pada dirinya, serta dalam mengikuti ajarannya. Kata ini mereka munculkan ketika Qasim, putra beliau, meninggal. Mereka lalu mengatakan bahwa Muhammad abtar, yaitu tidak ada keturunan. Kalaupun ada, maka akan terputus keturunannya. Oleh karena itu, Allah Subhanahu wata’ala menjelaskan bahwa al-abtar adalah yang membenci Rasul Shallallahu ‘alaihi wasallam, dan dialah yang akan terputus dari semua kebaikan. Tidak ada berkah pada dirinya. Hidupnya hanya berisi penyesalan. Jika hal ini berlaku atas orang yang membenci beliau, begitu pula bagi yang membenci syariat (ajaran)nya. Oleh sebab itu, barang siapa membenci syariat Rasulullah SAW, atau salah satu syiar Islam, atau membenci ibadah apa pun yang dilakukan oleh manusia untuk melaksanakan agama Islam, dia telah kafir, keluar dari Islam. Hal ini berdasarkan firman Allah Subhanahu wata’ala,
ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ كَرِهُوا مَا أَنزَلَ اللَّهُ فَأَحْبَطَ أَعْمَالَهُمْ
“Hal itu karena sesungguhnya mereka benci kepada apa yang diturunkan oleh Allah (al-Qur’an) lalu Allah menghapus (pahala) amal-amal mereka.” (Muhammad: 9)
Tidak ada yang menghapus amalan selain kekufuran. Barang siapa membenci kewajiban shalat, dia telah kafir, walaupun ia menjalankan shalat. Barang siapa membenci kewajiban zakat, dia telah kafir walaupun menunaikannya. Adapun yang merasa berat menjalaninya, namun tidak membencinya, dikhawatirkan pada dirinya ada salah satu perangai kemunafikan, meski tidak dikafirkan. Jadi, terdapat perbedaan antara orang yang merasa berat (tanpa membenci) dengan orang yang membenci. Dengan demikian, surat ini mengandung penjelasan tentang nikmat Allah Subhanahu wata’ala yang diberikan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, yaitu kebaikan yang banyak. Selain itu, surat ini memuat perintah untuk mengikhlaskan shalat dan berkurban hanya untuk AllahSubhanahu wata’ala. Perintah ini berlaku dalam seluruh bentuk ibadah. Surat ini juga menjelaskan, siapa yang membenci Rasul n atau sebagian syariat beliau, dialah yang terputus, yaitu tidak ada kebaikan dan berkah pada dirinya. Wallahu a’lam.

MENGENAL LEBIH DALAM SURAT AL - IKLAS

MENGENAL LEBIH DALAM SURAT AL IKLAS

بسم الله الرحمن الرحيم

قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ، اللَّهُ الصَّمَدُ، لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ، وَلَمْ يَكُن لَّهُ كُفُوًا أَحَدٌ
Katakanlah, “Dialah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tidak melahirkan dan tidak pula dilahirkan; tidak pula ada seorang pun yang setara dengan-Nya.” (QS al-Ikhlas [112]: 1-4).
Ø  Sabab Turunnya surat Al Iklas
Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu ‘Aliyah, dari Ubay bin Kaab ra., bahwa kaum musyrik pernah berkata kepada Nabi saw, “Wahai Muhammad, sebutkanlah nasab Tuhanmu kepada kami!” Lalu Allah SWT menurunkan surat ini. Riwayat senada juga disampaikan oleh at-Tirmidzi dan Ibnu Jarir. Abu Ya’la meriwayatkannya dari Jabir ra.1

Ø  Keutamaan Surat al-Ikhlas
Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Aisyah bahwa ada seorang laki-laki yang dikirim dalam sebuah sariyah (ekspedisi perang). Dia membaca al-Quran dalam shalat dengan teman-temannya, lalu dia menutupnya dengan surat ini. Setelah kembali, mereka menyampaikannya kepada Rasulullah saw. Beliau bersabda, “Tanyakanlah kepadanya, mengapa dia mengerjakan itu.” Mereka pun bertanya kepada orang itu, lalu dia menjawab, “Karena itu sifat Ar-Rahmân dan aku senang membacanya.” Kemudian beliau bersabda, “Kabarkanlah kepadanya bahwa Allah SWT mencintainya.”
Dari Imam Ahmad dan at-Tirmidzi, dari Anas ra., pernah ada seorang laki-laki yang datang kepada Rasulullah saw. dan berkata, “Sesungguhnya saya mencintai surat ini (Qul huwal-Lâh Ahad dst).” Rasulullah saw. bersabda, “Kecintaanmu terhadapnya memasukkanmu ke dalam surga (lafal hadis dari Imam Ahmad).”
Imam al-Bukhari dan Abu Dawud meriwayatkan dari Abu Said al-Khudri, dia berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Demi Zat yang jiwaku ada di tangan-Nya, sesungguhnya (surat al-Ikhlas) itu setara dengan sepertiga al-Quran.”

Ø  Tafsir Ayat
Allah SWT berfirman: Qul huwal-Lâh Ahad (Katakanlah, “Dialah Allah, Yang Maha Esa.”). Perintah Qul dalam ayat ini ditujukan kepada Rasulullah saw. Apabila dikaitkan dengan sabab nuzûl-nya, perkataan itu merupakan jawaban atas pertanyaan kaum musyrik mengenai sifat Tuhan yang beliau dakwahkan. Perintah itu juga berlaku bagi seluruh umatnya, sebab khithâb al-Rasûl khithâb li ummatihi(seruan kepada Rasul, juga seruan kepada umatnya).
Dalam ayat ini, beliau dan umatnya diperintahkan untuk mengatakan: Huwal-Lâh Ahad; bahwa Tuhan yang mereka tanyakan itu adalah Allah dan Allah itu hanya satu. Sebab, kata ahad bermakna wâhid (satu).2 Bahkan ditegaskan al-Baghawi, tidak ada perbedaan makna antara ahad dengan wâhid.3
Kendati sama-sama menunjuk pada jumlah satu, menurut sebagian mufassir ada perbedaan di antara keduanya. Dinyatakan oleh al-Azhari bahwa sifat ahadiyyahhanya digunakan untuk Allah. Sebagai buktinya, tidak dikatakan rajul ahad wa dirhâm ahad, tetapi dikatakan rajul wâhid wa dirhâm wâhid.4 Pendapat senada juga dikemukakan Tsa’lab.5
Mengenai pengertian ayat ini secara keseluruhan, Ibnu Katsir memaparkan, “Dialah al-Wâhid al-Ahad; tidak ada yang setara dan pembantu; tidak ada sekutu, yang serupa dan sepadan dengan-Nya. Ungkapan ini tidak diucapkan kepada siapa pun kecuali Allah Azza wa Jalla. Sebab, Dia Mahasempurna dalam semua sifat dan perbuatan-Nya.”6
Dalam ayat berikutnya kemudian ditegaskan: Allâh ash-Shamad (Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu). Dijelaskan az-Zamkhsyari dan asy-Syaukani, kata ash-shamad merupakan fi’l yang bermakna maf’ûl.7 Menurut asy-Syaukani, kata tersebut seperti halnya kata al-qabdh yang bermakna al-maqbûdh (yang digenggam). Kata ash-shamad pun demikian, bermakna al-mashmûd ilayhi, yakni al-maqshûd ilayhi (yang dituju). Jadi, makna ash-shamadadalah al-ladzî yushmadu ilayhi fî al-hâjat (pihak yang dituju atau dijadikan sebagai sandaran dalam berbagai kebutuhan). Hal itu disebabkan karena keberadaan-Nya yang mampu memenuhi berbagai kebutuhan.8 Penjelasan yang sama dikemukakan al-Qurthubi, al-Sa’di, dan al-Zuhaili.9
Ibnu ‘Abbas, sebagaimana dikutip al-Qurthubi, juga berpendapat demikian. Menurutnya, pengertian ini sejalan dengan QS an-Nahl [16]: 53. 10
Selain makna itu, ada beberapa makna ash-shamad yang disampaikan oleh para mufassir. Menurut Ibnu ‘Abbas dalam riwayat lain, Said bin Jubair, Mujahid, al-Dhahhak, ‘Ikrimah, dan al-Hasan, kata ash-shamad berarti Zat yang tidak lapar. asy-Sya’bi juga memaknainya sebagai Zat yang tidak makan dan tidak minum.11
Abu Aliyah memaknai ash-shamad sebagai Zat yang tidak beranak dan tidak diperanakkan. Sebab, tidak ada yang beranak kecuali dia diwarisi; dan tidak ada yang diperanakkan kecuali dia akan mati. Allah SWT pun memberitakan kepada kita bahwa Dia tidak diwarisi dan tidak beranak.12 Ubay bin Kaab juga berpendapat bahwa makna ash-shamad dijelaskan oleh ayat sesudahnya: Lam yalid walam yûlad; walam yakun lahu kufuw[an] ahad.13 Penafsiran lain diberikan Qatadah dan al-Hasan. Keduanya mengatakan bahwa ash-shamad bermakna al-bâqi (yang kekal).
Kendati demikian, sebagaimana ditegaskan Ibnu Jarir ath-Thabari, penafsiran yang lebih tepat adalah yang sesuai dengan makna yang telah dikenal oleh orang yang bahasanya digunakan al-Quran. Menurut orang Arab, makna ash-shamad adalahas-sayyid yang dituju atau dijadikan sebagai sandaran; dan tidak ada seorang pun yang di atasnya.14
Dikatakan juga oleh Ibnu Anbari bahwa tidak terdapat perbedaan di kalangan ahli bahasa bahwa ash-shamad adalah as-sayyid yang tidak ada lagi seorang pun di atasnya, yang semua manusia bersandar kepada-Nya dalam semua urusan dan kebutuhan mereka.15
Selanjutnya Allah SWT berfirman: Lam yalid walam yûlad (Dia tidak melahirkan dan tidak pula dilahirkan). Ayat ini memberikan pengertian bahwa tidak lahir dari-Nya anak; Dia juga tidak lahir dari sesuatu apa pun.16 Az-Zamakhsyari mengatakan bahwa disebutkan lam yalid karena tidak ada yang sejenis dengan-Nya sehingga bisa dijadikan oleh-Nya sebagai istri, kemudian dari mereka lahirlah anak. Makna ini juga ditunjukkan oleh QS al-An’am [6]: 101.17
Meskipun dalam ayat ini digunakan kata lam, bukan berarti hanya menafikan masa lampau. Sebab, ayat tersebut berlaku abadi. Demikian pula nafiy dalam ayat ini. Menurut Fakhruddin ar-Razi, digunakannya kata lam karena merupakan jawaban atas ucapan mereka mengenai anak Allah SWT (QS ash-Shaffat [37]: 151-152).
Kemudian surat ini diakhiri dengan firman-Nya: walam yakun lahu kufuw[an] ahad(dan tidak ada seorang pun yang setara dengan-Nya). Maknanya, Allah Yang Maha Esa itu tidak ada yang menandingi atau menyamai-Nya. Menurut Ibnu Jarir ath-Thabari, kata al-kufu’ wa al-kufâ wa al-kifâ’ dalam bahasa Arab memiliki satu makna, yakni al-mitsl wa asy-syibh (semisal dan serupa).18 Itu berarti, tidak ada satu pun yang setara, sepadan, semisal atau sebanding dengan-Nya.
Gambaran tentang Tauhid
Dari segi jumlah ayat, surat ini tergolong singkat, hanya terdiri empat ayat. Kendati begitu, kandungan isinya amat padat. Keimanan kepada Allah SWT yang menjadi perkara mendasar dalam Islam dijelaskan amat gamblang. Tidak mengherankan jika Rasulullah saw. menyebut surat ini setara dengan tsuluts al-Quran (sepertiga al-Quran).
Dalam surat ini terdapat pelajaran penting. Setidaknya ada tiga perkara penting yang perlu ditandaskan kembali. Pertamaasmâ’ (nama) Tuhan yang patut disembah. Sebagaimana telah diungkap, surat ini turun sebagai jawaban atas pertanyaan kaum musyrik mengenai Tuhan yang disembah Rasulullah saw. Ditegaskan dalam surat ini bahwa Huwal-Lâh (Dia adalah Allah). Allah adalah nama Zat Pencipta alam semesta ini. Menurut al-Biqa’, nama ini—yakni Allah—menunjuk semua sifat kesempurnaan: al-Jalâl wa al-Jamâl. Nama ini juga mencakup seluruh makna al-asmâ’ al-husnâ.19 Bahwa nama Rabb al-‘âlamînadalah Allah, amat banyak disebut dalam al-Quran. Dengan nama itu pula manusia diperintahkan untuk memanggil dan berdoa kepada-Nya (QS al-Isra’ [17]: 110).
Oleh karena itu, manusia hanya boleh menyebut-Nya dengan nama yang telah diberitakan-Nya, yakni: Allah, Ar-Rahmân, atau al-asmâ’ al-husnâ lainnya. Manusia tidak boleh memanggil-Nya dengan nama lain yang dibuat sendiri (QS Yusuf [12]: 40).
Kedua: tawhîdul-Lâh atau (pengesaan terhadap Allah). Secara tegas dalam surat ini disebutkan bahwa Allah SWT itu Ahad. Dia hanya satu, bukan dua, tiga, atau lebih sebagaimana yang lazim diklaim oleh kaum kafir. Perkara ini amat banyak diberitakan dalam ayat al-Quran. Bahkan perkara ini didakwahkan oleh semua nabi dan rasul yang diutus Allah SWT. Tidak ada seorang pun di antara mereka kecuali mengajak pada tauhid (lihat QS al-Anbiya’ [21]: 25; asy-Syura [42]: 13).
Keesaan Allah juga ditegaskan dalam ayat: lam yalid walam yûlad; bahwa Allah tidak memiliki anak; tidak pula menjadi anak bagi selain-Nya; tidak ada pula yang diangkat dan dijadikan sebagai anak-Nya (lihat QS al-Isra’ [17]: 111; Yunus [10]: 68).
Keesaan Allah disebutkan dalam firman-Nya: walam yakun lahu kuffuw[an] ahad; bahwa tidak ada yang sama, serupa, sejenis, setara atau sebanding dengan-Nya. Dia berbeda dengan semua makhluk-Nya (QS al-Syura [42]: 11).
Perkara tauhid ini merupakan perkara paling mendasar yang harus diimani oleh setiap manusia. Siapa pun yang menganggap tuhan lebih dari satu, memiliki anak atau ada yang setara dengan-Nya, maka dia telah terjatuh dalam kekufuran dan kesyirikan. Jika dicermati, semua agama selain Islam dalam konsep ketuhanannya telah terjatuh dalam kesalahan mendasar ini. Di antara agama itu ada yang menganggap selain Allah sebagai tuhan, tuhan lebih dari satu, atau ada makhluk yang setara dengan-Nya; tidak terkecuali agama yang sebelumnya dibawa oleh para nabi, seperti Yahudi dan Nasrani. Kedua agama itu pun dikotori hawa nafsu manusia sehingga terjatuh dalam kesyirikan. Yahudi menyebut Uzair sebagai anak Allah. Nasrani menyebut Isa sebagai anak Allah (lihat QS at-Taubah [9]: 30; al-Maidah [5]: 72). Isa sendiri tidak pernah mengatakan perkataan batil itu (lihat QS al-Maidah [5]: 116).
Dalam al-Quran cukup banyak ayat memberikan bantahan atas kebatilan anggapan Tuhan lebih dari satu. Dalam QS al-Anbiya’ [21]: 22 ditegaskan, seandainya ada banyak tuhan selain Allah, maka langit dan bumi akan binasa.
Orang-orang yang menganggap tuhan lebih dari satu, memiliki anak, atau menyekutukan-Nya dengan yang lain telah diancam dengan hukuman yang amat keras. Apabila mati dalam keadaan demikian maka dosanya tidak akan diampuni (lihat QS al-Nisa [4]: 48, 111). Surga diharamkan atas mereka. Neraka adalah tempat kembali mereka di akhirat; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya (lihat QS al-Maidah [5]: 72-73).
Ketiga: kesempurnaan sifât AllahDalam surat ini disebutkan bahwa Allah itu ash-shamad. Dalam al-Quran, kata ini hanya disebut dalam surat ini. Jika dicermati, sifat ini memiliki cakupan makna yang amat luas sekaligus meniscayakan adanya sifat-sifat lainnya. Sebagaimana telah dipaparkan, kata ini mengandung pengertian bahwa Dia adalah as-sayyid tertinggi dan tidak ada yang lebih tinggi lagi. Artinya, Dia memang Mahatinggi (Al-‘Aliyy), Mahaagung (Al-‘Azhîm) dan semua sifat lainnya yang menunjukkan ketinggian-Nya.
Kata ash-shamad juga mengandung makna bahwa Dia tidak memerlukan yang lain. Itu berarti, sebagaimana diterangkan az-Zamakhsyari, Dia adalah Al-Ghaniyy(Mahakaya, tidak butuh terhadap yang lain).20 Karena tidak membutuhkan yang lain, berarti Dia juga Al-Qadîr (Mahakuasa), Al-Qawiyy (Mahakuat), Al-‘Azîz(Mahaperkasa), Al-Hayy (Mahahidup) dan semua sifat yang menunjukkan kekuatan-Nya.
Allah juga menjadi sandaran dan tempat bergantung bagi semua makhluk-Nya. Dialah yang menciptakan semua makhluk-Nya (Al-Khâliq), menghidupkan mereka (Al-Muhyî), memberikan rezeki kepada mereka (Ar-Razzâq, Ar-Razîq) dan menolong hamba-Nya (An-Nâshir) serta semua semua sifat lainnya yang menunjukkan bahwa Dia menjadi sandaran dan tempat bergantung bagi seluruh hamba-Nya. Dengan demikian, hanya kepada-Nyalah manusia beribadah dan bermohon.
Walhasil, surat ini memberikan gambaran amat jelas mengenai keimanan kepada Allah SWT. Sebagaimana disimpulkan Abdurrahman as-Sa’di, surat ini mencakuptawhîd al-asmâ’ wa al-shifât.21 Wallâh a’lam bi ash-shawâb. []


Catatan kaki:
1 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, VIII/527 (Riyadh: Dar Thayyibah, 1997).
2 Az-Zamakhsyari, al-Kasysyâf, VI/460 (Riyad: Maktabah Abikan, 1998); al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’an, XX/244 (Riyad: Dar ‘Alam al-Kutub, 2003); Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsî r al-Bahr al-Muhîth, VIII/529 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993); az-Zuhaili, At-Tafsîr al-Munîr, XXX//464 (Beirut: Dar al-Fikr, 1998).
3 Al-Baghawi, Ma’âlim at-Tafsîr, VIII/588 (Riyad: Dar Thayyibah, 1992).
4 Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, V/515-516 (Beirut: Dar al-Fikr, tt).
5 Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsî r al-Bahr al-Muhîth, VIII/529.
6 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, VIII/527-528.
7 Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, VI/460; asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, V/516.
8 Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, V/516
19 Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’an, XX/245, al-Sa’di, Taysîr al-Karîm al-Rahmân (Riyad: Muassasah al-Risalah, 2000), 504; az-Zuhaili, At-Tafsîr al-Munîr,XXX/465 (Beirut: Dar al-Fikr, 1998).
10 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’an, XX/245
11 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, vol. 24 (Makkah: al-Risalah, 2000), 691; al-Baghawi, Ma’âlim at-Tafsîr, VIII/588.
12 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân, XXIV/691.
13 Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsî r al-Bahr al-Muhîth, VIII/530.
14 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân, vol. 24, 692
15 Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsî r al-Bahr al-Muhîth, VIII/530.
16 Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, V/516.
17 Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, VI/ 461.
18 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân, XXIV/694.
19 Al-Biqai, Nazhm ad-Durar.
20 Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, VI/461.
21 Az-Sa’di, Taysîr al-Karîm ar-Rahmân, 504